Mahasiswa, Agen Perubahan Sosial
Mahasiswa selalu menjadi bagian dari perjalanan sebuah bangsa.Roda sejarah demokrasi selalu menyertakan mahasiswa sebagai pelopor,penggerak,bahkan sebagai pengambil keputusan.Pemikiran kritis, demokratis,dan konsumtif selalu lahir dari pola pikir para mahasiswa.Suara – suara mahasiswa kerap kali mempresentasikan dan mengangkat realita sosial yang tejadi dimasyarakat. Sikap idealisme mendorong mahasiswa untuk memperjuangkan sebuah aspirasi pada penguasa, dengan cara mereka sendiri.
Apakah anda tau istilah agen perubahan sosial yang ditujukan ke mahasiswa? Istilah itu disandingkan dengan mahasiswa bukan tanpa alasan, melainkan karena harapan besar terhadap mahasiswa yang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan tertinggi.
Salah satu produk yang bisa disumbangkan mahasiswa dalam mengatasi problem mayarakat adalah lewat kajian karya tulis ilmiah dengan tema masalah yang melanda atau meresahkan masyarakat dan negara. Bagi mahasiswa yang kurang bisa menulis, bisa menyumbangkan solusi lewat berbagai diskusi resmi atau tak resmi.
Jika semua mahasiswa di Indonesia mau memperhatikan atmosfer (keadaan) di lingkungan masing-masing, tentu akan mengelus dada sebagai rasa prihatin. Mereka akan bertanya-tanya, apakah masih pantas menyandang istilah agen perubahan sosial?
Mahasiswa tak lagi tertarik kajian karya tulis ilmiah. Bagi mereka, mengerjakan kajian karya tulis ilmiah hanya menambahi beban. Memang masih ada yang bersedia mengadakan kajian karya tulis ilmiah. Namun rata-rata bukan karena kesadaran ingin menyumbangkan sesuatu pada agama, masyarakat, bangsa, atau negara. Mereka membuat karya ilmiah karena tuntutan tugas kuliah dari dosen saja. Selain itu, mahasiswa tak lagi tertarik ikut diskusi resmi, baik tingat lokal, regional, nasional, maupun internasional, yang menghadirkan narasumber yang kompeten.
Dengan penurunan minat pengabdian mahasiswa ke masyarakat, adakah mahasiswa yang malu atau malah bangga menyebut diri agen perubahan sosial? Adakah yang marah jika istilah itu diganti menjadi agen perusak kebudayaan, agen perusak warisan nenek moyang, agen perusak moral bangsa, agen pembuat kegaduhan masyarakat?
Berapa banyak kebudayaan warisan nenek moyang diberangus para (mantan) mahasiswa yang telah mendapatkan gelar sarjana dan menjadi petinggi di daerah dan negara? Dengan alasan kebudayaan tak mendatangkan pendapatan bagi daerah atau negara? Untuk apa kebudayaan dilestarikan? Bukankah tempat pelaksanaan kebudayaan itu jika dialihfungsikan lebih bermanfaat secara ekonomi?
Masih Bangga? Berapa banyak hutan dilahap dengan rakus oleh para (mantan) mahasiswa yang dulu pencinta alam? Untuk menutupi kerakusan itu, mereka mengadakan program tanam sejuta pohon dan dipamerkan di hadapan media dan dunia sehingga akhirnya mendapat penghargaan “Avatar”? Padahal, di balik penanaman sejuta pohon itu, ratusan juta hektare hutan diberangus. Masih banggakah mantan mahasiswa itu menyandang penghargaan?
Berapa banyak mantan mahasiswa menjadi penjilat tumit kaki para penjajah ekonomi, sosial, politik Indonesia? Padahal, dulu tatkala menjadi mahasiswa lewat corong mikrofon suara mereka menggelegar menembus lorong kota sampai desa. Menolak segala bentuk penjajahan, menolak perdagangan bebas yang menciptakan masyarakat konsumtif dan menggulung tikar produsen dalam negeri? Namun, sekarang mereka malah hidup di tengah-tengah harapan: mudah-mudahan masyarakat Indonesia tetap menjadi masyarakat konsumtif.
Salah satu produk yang bisa disumbangkan mahasiswa dalam mengatasi problem mayarakat adalah lewat kajian karya tulis ilmiah dengan tema masalah yang melanda atau meresahkan masyarakat dan negara. Bagi mahasiswa yang kurang bisa menulis, bisa menyumbangkan solusi lewat berbagai diskusi resmi atau tak resmi.
Jika semua mahasiswa di Indonesia mau memperhatikan atmosfer (keadaan) di lingkungan masing-masing, tentu akan mengelus dada sebagai rasa prihatin. Mereka akan bertanya-tanya, apakah masih pantas menyandang istilah agen perubahan sosial?
Mahasiswa tak lagi tertarik kajian karya tulis ilmiah. Bagi mereka, mengerjakan kajian karya tulis ilmiah hanya menambahi beban. Memang masih ada yang bersedia mengadakan kajian karya tulis ilmiah. Namun rata-rata bukan karena kesadaran ingin menyumbangkan sesuatu pada agama, masyarakat, bangsa, atau negara. Mereka membuat karya ilmiah karena tuntutan tugas kuliah dari dosen saja. Selain itu, mahasiswa tak lagi tertarik ikut diskusi resmi, baik tingat lokal, regional, nasional, maupun internasional, yang menghadirkan narasumber yang kompeten.
Dengan penurunan minat pengabdian mahasiswa ke masyarakat, adakah mahasiswa yang malu atau malah bangga menyebut diri agen perubahan sosial? Adakah yang marah jika istilah itu diganti menjadi agen perusak kebudayaan, agen perusak warisan nenek moyang, agen perusak moral bangsa, agen pembuat kegaduhan masyarakat?
Berapa banyak kebudayaan warisan nenek moyang diberangus para (mantan) mahasiswa yang telah mendapatkan gelar sarjana dan menjadi petinggi di daerah dan negara? Dengan alasan kebudayaan tak mendatangkan pendapatan bagi daerah atau negara? Untuk apa kebudayaan dilestarikan? Bukankah tempat pelaksanaan kebudayaan itu jika dialihfungsikan lebih bermanfaat secara ekonomi?
Masih Bangga? Berapa banyak hutan dilahap dengan rakus oleh para (mantan) mahasiswa yang dulu pencinta alam? Untuk menutupi kerakusan itu, mereka mengadakan program tanam sejuta pohon dan dipamerkan di hadapan media dan dunia sehingga akhirnya mendapat penghargaan “Avatar”? Padahal, di balik penanaman sejuta pohon itu, ratusan juta hektare hutan diberangus. Masih banggakah mantan mahasiswa itu menyandang penghargaan?
Berapa banyak mantan mahasiswa menjadi penjilat tumit kaki para penjajah ekonomi, sosial, politik Indonesia? Padahal, dulu tatkala menjadi mahasiswa lewat corong mikrofon suara mereka menggelegar menembus lorong kota sampai desa. Menolak segala bentuk penjajahan, menolak perdagangan bebas yang menciptakan masyarakat konsumtif dan menggulung tikar produsen dalam negeri? Namun, sekarang mereka malah hidup di tengah-tengah harapan: mudah-mudahan masyarakat Indonesia tetap menjadi masyarakat konsumtif.
Jika ada mahasiswa, baik mantan maupun masih berstatus mahasiswa, marah atas pencabutan agen perubahan sosial dan mengganti sebagai agen perusak, itu memang saya inginkan. Sebab, itulah tujuan utama saya menulis dan memublikasikan tulisan ini. Jika Anda masih ingin disebut agen perubahan sosial, silakan patahkan pendapat saya.